Normaal School |
Refleksi
Kritis atas Keamanan sebagai Tanggung Jawab Bersama
Di
sebuah ruang yang kita kenal sebagai kampus, semestinya pengetahuan
tidak hanya diajarkan, tetapi juga ditumbuhkan seperti benih yang butuh tanah
subur, cahaya, dan air. Dalam konteks ini, keamanan adalah unsur dasar yang
tak bisa ditawar. Tanpa rasa aman, proses belajar-mengajar hanya akan
menjadi aktivitas kosong, sekadar rutinitas mekanis tanpa kenyamanan emosional
dan sosial. Kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi semua: bagi mereka yang
ingin membaca di bawah pohon, bagi yang ingin berdiskusi di lorong, hingga
mereka yang lembur tugas hingga malam menjelang.
Namun,
realitas sering berbicara lain. Keamanan di lingkungan kampus kerap
direduksi hanya sebagai tugas teknis belaka menjaga gerbang, mencatat tamu,
menyalakan CCTV. Seolah-olah keamanan cukup diserahkan kepada pagar besi dan
petugas berseragam. Padahal, esensi sejati dari keamanan kampus bukan
sekadar infrastruktur dan aturan, melainkan ekosistem sosial yang hidup dan
sadar. Ia dibangun oleh semua orang yang ada di dalamnya mahasiswa,
dosen, tenaga kependidikan, dan bahkan petugas keamanan itu sendiri.
Dalam
konteks inilah, kegiatan Nobar dan Diskusi Vol.1 bertajuk "Kampus
Aman, Mahasiswa Nyaman" hadir bukan sebagai agenda biasa. Ia adalah langkah
awal yang penting dan berani untuk mengevaluasi bagaimana kita memandang
dan memperlakukan isu keamanan di lingkungan pendidikan. Lebih dari sekadar
diskusi, acara ini menjadi ruang reflektif sekaligus kritis: membongkar cara
pandang lama yang kaku dan membangun ulang kesadaran bersama bahwa keamanan
kampus bukan tanggung jawab satu pihak, tetapi ikhtiar kolektif seluruh warga
kampus.
Dengan
mengangkat suara langsung dari pihak pamdal dan mahasiswa, diskusi ini membuka
mata bahwa keamanan tidak bisa berdiri sendiri ia
harus hadir dalam sistem yang didukung oleh sumber daya memadai, komunikasi
yang terbuka, serta partisipasi aktif dari seluruh elemen kampus. Di sinilah
letak nilai strategis kegiatan ini: membangun budaya aman yang bukan hanya
berdasarkan larangan, tetapi kesepahaman dan kepedulian.
Ketika Satpam Bukan Lagi
Sendiri: Pihak Pamdal dan Ruang Kolaborasi yang Terlambat Hadir
Perwakilan
dari pihak Pamdal menyampaikan bahwa ini adalah pertama kalinya lagi mereka diajak berdiskusi langsung oleh mahasiswa, karena ditahun-tahun sebelumnya
sempat terjadi, namun pernah terputus komunikasi dan kolaborasinya terkait isu keamanan kampus. Bagi mereka, momen ini adalah
sesuatu yang telah lama dinantikan.
Pos Penjaga Keamanan Dalam UPI Kampus di Purwakarta |
Dokumentasi Nobar |
"Seharusnya
ini sudah terjadi dari dulu,"
ungkap salah satu pihak pengamanan kampus dengan nada reflektif, menggambarkan
betapa lama hubungan kerja kolaboratif antara petugas keamanan dan mahasiswa
dinanti. Pernyataan ini bukan sekadar keluhan, melainkan isyarat kuat akan
kerinduan terhadap sistem keamanan yang bersifat partisipatif, bukan
eksklusif. Selama ini, pengamanan kampus kerap dianggap sebagai
tanggung jawab tunggal petugas keamanan. Padahal, pendekatan ini tak lagi
relevan di tengah tantangan kampus modern yang semakin kompleks.
Seperti
ditegaskan Trojanowicz dan Bucqueroux (1990) dalam konsep community policing,
keamanan paling efektif lahir dari kemitraan antara warga dan aparat. Di
lingkungan kampus, itu berarti keterlibatan aktif mahasiswa, dosen, staf, dan
pamdal dalam menjaga ruang akademik yang aman dan inklusif.
Kemitraan
ini bukan hanya memperkuat pengawasan, tapi juga menumbuhkan rasa tanggung
jawab kolektif. Keamanan pun berubah dari prosedur menjadi budaya bersama. Sudah
waktunya kampus meninggalkan pola pikir lama. Keamanan bukan kerja satu pihak,
melainkan kerja bersama. Inilah fondasi kampus yang benar-benar nyaman untuk
tumbuh dan belajar.
Mahasiswa:
Bukan Sekadar Pengguna, Tapi Penjaga Ruang Kampus
Parkir Sembarangan |
Namun, kritik itu tidak
hadir dalam nada tuduhan. Sebaliknya, pihak Pamdal justru menunjukkan sikap
terbuka dan bijaksana. Mahasiswa tidak dilihat sebagai beban atau ancaman,
melainkan sebagai mitra strategis dalam menjaga keamanan kampus. Bahkan,
mereka mengapresiasi kehadiran beberapa mahasiswa yang kerap berada di kampus
hingga malam hari bukan
untuk hal negatif, tetapi untuk menyelesaikan tugas atau berdiskusi.
Salah
satu contoh positif datang dari penghuni Asrama Putri kamar nomor 7. Kehadiran
mereka di malam hari justru memberi kontribusi nyata terhadap sistem
pengawasan informal kampus. Di saat petugas keamanan berjaga dalam
keterbatasan, mahasiswa-mahasiswa inilah yang menciptakan kehadiran sosial sebuah
bentuk pengawasan alami yang membuat lingkungan terasa lebih aman.
Hal
ini sejalan dengan teori Defensible Space yang dikemukakan oleh Oscar
Newman (1972), yang menyatakan bahwa ruang akan lebih aman bila ada
keterlibatan langsung dari penggunanya. Dengan kata lain, kehadiran aktif
mahasiswa di berbagai titik kampus bukan hanya memberi rasa nyaman, tapi juga
memperkuat ekosistem keamanan secara menyeluruh.
Sudah
saatnya paradigma bergeser. Mahasiswa bukan sekadar pengguna fasilitas, tapi penjaga
ruang hidup akademik. Ketika semua pihak merasa memiliki kampus ini, maka
menjaga keamanan tak lagi terasa sebagai beban melainkan panggilan tanggung jawab
bersama.
Krisis Keamanan Kampus: Ketika Surat Aduan Tak Didengar dan SDM Tak Cukup.
Kunci motor yang tertinggal |
masalah terbesar adalah keterbatasan SDM pamdal. Dengan jumlah personel yang sedikit, pengawasan menjadi tidak maksimal, termasuk untuk tugas-tugas penting seperti membantu penyebrangan di zebra cross dan menjaga lebih dari satu gerbang kampus.
Lebih jauh dari sekadar persoalan teknis, masalah
paling mendasar dalam sistem keamanan kampus hari ini adalah lemahnya respons
terhadap keluhan yang sudah disampaikan secara formal. Ya, surat aduan
memang ada. Mekanisme pelaporan pun sudah secara prosedural, telah diikuti oleh
pihak-pihak yang peduli terhadap keamanan kampus. Namun ironisnya, ketika aduan
itu sampai ke meja birokrasi, yang terjadi justru adalah kebuntuan.
Pihak pamdal yang menjadi garda depan pengamanan
mengungkapkan bahwa hingga kini belum ada kejelasan apakah kampus
benar-benar memiliki komitmen serius dalam menanggapi isu keamanan. Tidak
sedikit laporan atau aspirasi mahasiswa yang tenggelam begitu saja, tanpa
kejelasan lanjutan, tanpa tindak lanjut yang konkret. Ini menunjukkan sebuah
ironi: kampus sebagai institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjunjung
tinggi nilai-nilai dialog, transparansi, dan demokrasi, justru gagal
menciptakan ruang partisipasi yang sehat dalam hal keamanan.
Lebih parahnya, regulasi yang ada pun belum cukup
berpihak pada model pengamanan partisipatif. Tidak tersedia kanal aduan
yang terbuka, transparan, dan akuntabel. Tidak ada forum formal di mana
mahasiswa bisa menyuarakan keresahannya terkait rasa tidak aman di lingkungan
kampus. Seolah-olah keamanan adalah urusan internal semata, tertutup rapat dari
kritik dan saran warga kampus yang justru menjadi kelompok paling terdampak.
Hal
ini menciptakan ruang kosong yang sangat berbahaya. Ketika laporan
kehilangan, tindakan tidak menyenangkan, hingga pelanggaran keamanan tidak
ditindak secara transparan, maka hilang pula kepercayaan terhadap sistem.
Dan ketika kepercayaan itu runtuh, yang tersisa hanyalah rasa cemas, saling
curiga, dan ketidakpedulian.
Padahal,
dalam lingkungan pendidikan modern, keamanan bukan hanya soal fisik,
melainkan juga soal psikologis dan sosial. Mahasiswa berhak merasa aman
saat menuntut ilmu. Petugas keamanan berhak mendapatkan sistem yang mendukung
tugasnya. Kampus sebagai institusi berhak dituntut untuk membangun ekosistem
yang berpihak pada perlindungan seluruh warga di dalamnya.
Karena
itu, sudah saatnya kampus berani membuka ruang-ruang partisipatif yang
sejati, memperkuat kanal aduan, dan memastikan bahwa setiap laporan
ditanggapi dengan keseriusan dan empati. Keamanan bukan akan lahir dari sistem
tertutup dan birokrasi lamban, melainkan dari komunikasi terbuka, tata
kelola yang transparan, dan komitmen yang tidak sebatas jargon.
Dengan melihat kejadian gambar diatas, bahwasanya menandakan kurangnya SDM pamdal sehingga tidak ada pamdal yang mengawasi langsung dilapangan ketika terjadi kejadian seperti itu kembali kedepannya. Hal tersebut sangat ditakutkan ketika ada masyarakat luar yang berpura-pura masuk dan berpura-pura menjadi mahasiswa, sehingga kejadian kunci yang masih menggantung dalam motornya bisa menjadi sasaran untuk membawa motor tersebut.
Gambar yang ditampilkan di atas bukan sekadar dokumentasi visual biasa, itu adalah potret nyata dari krisis pengawasan yang tengah melanda kampus. Kejadian tersebut dengan jelas menunjukkan satu hal yang mengkhawatirkan: minimnya jumlah personel keamanan (pamdal) yang bertugas secara aktif di lapangan. Akibatnya, ketika insiden mencurigakan atau situasi rawan terjadi, tidak ada petugas yang sigap hadir untuk melakukan intervensi langsung.
Kekosongan
pengawasan ini bukan perkara sepele. Dalam lingkungan terbuka seperti kampus, kemungkinan
adanya penyusup dari luar masyarakat
umum yang menyamar sebagai mahasiswa bukanlah hal
yang mustahil. Ketika pengawasan longgar, siapa
pun bisa bebas masuk tanpa terdeteksi. Dalam skenario terburuk, hal ini bisa
dimanfaatkan oleh oknum tak bertanggung jawab untuk melakukan aksi kriminal,
seperti pencurian kendaraan bermotor.
Salah
satu kejadian yang patut diwaspadai adalah motor yang ditinggalkan dengan
kunci masih menggantung. Tanpa kehadiran pamdal yang berpatroli atau
mengamati area parkir secara berkala, motor dengan kondisi tersebut menjadi
target empuk bagi pelaku pencurian. Kejadian ini menjadi sinyal keras bahwa
sistem keamanan kita masih rentan dan membutuhkan perhatian serius, baik dari
pihak birokrasi kampus maupun dari kesadaran kolektif mahasiswa.
Keamanan
bukanlah sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan mendasar. Dan selama jumlah SDM pamdal masih belum memadai, maka
celah-celah seperti ini akan terus terbuka membahayakan
bukan hanya barang, tetapi juga rasa aman seluruh civitas akademika.
Padahal, jika merujuk pada UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, institusi pendidikan tinggi memiliki kewajiban untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan sivitas akademika.
Parkiran, Gerbang, dan Zebra Cross: Potret Masalah Kecil yang Menjadi Besar
Diskusi
kemudian bergerak ke ranah yang tampak teknis, namun sesungguhnya menyentuh
nadi persoalan struktural kampus yang selama ini terabaikan. Ada tiga isu
utama yang mengemuka, dan semuanya bermuara pada lemahnya perencanaan tata
kelola keamanan.
Pertama,
kondisi parkiran kampus yang semrawut dan tidak merata. Sejumlah area
tampak sesak dengan kendaraan yang diparkir sembarangan, sementara di sisi
lain, ruang-ruang steril seperti area masjid yang harusnya
dijaga ketat agar ketika
ada yang parkir pun tertata sehingga mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, kini telah berubah fungsi menjadi lahan parkir. Hal ini
bukan hanya mengganggu estetika dan kenyamanan lingkungan, tapi juga menunjukkan
kegagalan dalam menata ruang secara berkelanjutan dan disiplin.
Zebra Cross |
Kedua, persoalan zebra cross. Idealnya, titik-titik penyebrangan di lingkungan kampus harus dijaga oleh petugas keamanan agar pengguna jalan, terutama mahasiswa, dapat menyebrang dengan aman. Namun realitasnya, karena keterbatasan personel, penjagaan hanya bisa dilakukan secara insidental jika ada waktu luang. Ini jelas menempatkan keamanan pengguna jalan sebagai hal yang tidak diprioritaskan.
Ketiga,
hanya satu pintu gerbang kampus yang dibuka setiap harinya. Hal ini
bukan karena kebijakan keamanan yang dirancang matang, melainkan murni
karena kekurangan tenaga pengamanan. Untuk membuka dua gerbang secara
bersamaan, kampus membutuhkan jumlah SDM yang saat ini tidak tersedia.
Akibatnya, sirkulasi keluar-masuk kampus jadi tidak efisien dan berpotensi
menimbulkan kemacetan serta kerentanan keamanan.
Ketiga
persoalan ini, jika ditarik benang merahnya, berakar pada satu isu utama:
minimnya sumber daya manusia dalam sistem keamanan, serta belum adanya
perencanaan keamanan kampus yang terstruktur dan holistik. Dalam konteks
desain lingkungan kampus, ini bukan hanya soal kenyamanan semata, melainkan
menyangkut persepsi rasa aman yang sangat mempengaruhi pengalaman belajar
dan bekerja seluruh warga kampus (Carmona et al., 2003).
Penataan
ulang parkiran, perbaikan jalur akses, hingga penguatan peran aktif seluruh
elemen kampus mulai dari birokrasi, pamdal, hingga mahasiswa merupakan
bagian dari solusi yang tak bisa ditunda. Karena pada akhirnya, kampus yang
aman bukan dibangun oleh pagar dan portal semata, tetapi oleh sistem yang hidup
dan dijalankan bersama.
Harapan Baru: Sinergi Teknologi dan Peran
Mahasiswa dalam Keamanan Kampus
CCTV |
Salah satu titik terang yang muncul dalam diskusi adalah komitmen terbuka dari pihak Pamdal untuk berkolaborasi dalam penguatan sistem keamanan berbasis teknologi. Ketika ditanya mengenai kemungkinan kerja sama dalam penempatan kamera pengawas (CCTV), pihak Pamdal menyatakan dukungan penuh terhadap inisiatif kolaboratif tersebut. Mereka tidak hanya siap menerima masukan dari mahasiswa, tetapi juga bersedia melibatkan langsung mahasiswa dalam menentukan titik-titik strategis pemasangan CCTV di area kampus.
Langkah
ini bukan hanya bentuk responsif terhadap kebutuhan keamanan saat ini, tetapi
juga menandai pergeseran paradigma menuju pendekatan keamanan yang lebih
partisipatif dan cerdas. Model seperti ini sangat selaras dengan konsep Smart
Campus Security (Lee & Trimi, 2018), yang menekankan pentingnya integrasi
antara teknologi modern dan keterlibatan aktif komunitas kampus dalam
menciptakan sistem keamanan yang adaptif, transparan, dan efisien.
Dengan
adanya kerja sama ini, diharapkan CCTV tidak lagi dipasang hanya berdasarkan
asumsi administratif, melainkan melalui pemetaan kebutuhan nyata dari warga
kampus sendiri. Mahasiswa sebagai pengguna ruang kampus sehari-hari memiliki
pengetahuan langsung mengenai titik-titik rawan dan potensi risiko keamanan
yang kerap luput dari pantauan otoritas.
Lebih
dari itu, kolaborasi ini menjadi simbol bahwa keamanan bukan hanya urusan satu
pihak, melainkan urusan bersama. Ketika teknologi dan partisipasi
mahasiswa bersatu, maka lahirlah ekosistem keamanan kampus yang bukan hanya
reaktif, tetapi juga preventif dan manusiawi.
Penajaman Gagasan: Keamanan adalah Hak
Fundamental, Bukan Sekadar Fasilitas Tambahan
Sudah
saatnya kampus memaknai keamanan bukan hanya sebagai pelengkap administratif
atau fungsi teknis belaka, melainkan sebagai hak dasar setiap warga kampus,
khususnya mahasiswa. Keamanan tidak boleh lagi diposisikan sebagai layanan
tambahan yang diberikan “jika sempat”, melainkan harus menjadi prioritas
utama dalam tata kelola institusi pendidikan.
Landasan
hukum atas gagasan ini sangat jelas. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan: “Setiap orang berhak
untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan.”
Dalam konteks kampus, hal ini berarti bahwa setiap mahasiswa berhak atas
lingkungan belajar yang bebas dari rasa cemas, bebas dari potensi kriminalitas,
dan bebas dari kelalaian sistemik.
Dengan
merujuk pada peraturan ini, hak atas rasa aman seharusnya tidak bisa
ditawar-tawar. Ia berada dalam satu garis yang sejajar dengan hak atas
pendidikan, kesehatan, dan kebebasan berpendapat. Maka wajar jika mahasiswa
menuntut lebih dari sekadar portal yang tertutup atau CCTV yang menyala.
Mahasiswa berhak atas sistem keamanan yang responsif terhadap laporan,
partisipatif dalam perencanaan, dan transparan dalam pelaksanaannya.
Kita
perlu menolak anggapan lama bahwa keamanan adalah semata-mata tanggung jawab
satuan pengamanan (pamdal) atau birokrasi kampus. Justru sebaliknya—keamanan
adalah ekosistem yang dibangun secara kolektif, di mana mahasiswa tidak
hanya menjadi objek perlindungan, tetapi juga subjek yang aktif dalam
menciptakan lingkungan aman.
Sudah
waktunya paradigma berubah. Kampus harus menjadi ruang belajar yang tidak
hanya mencerdaskan, tetapi juga melindungi. Karena tanpa rasa aman, tidak
akan pernah ada kenyamanan dalam proses pendidikan. Dan tanpa kenyamanan, maka
kualitas pembelajaran pun ikut tergerus.
Penutup: Menjaga Kampus Adalah Tanggung Jawab yang Dilahirkan dari Cinta
Diskusi
malam itu bukan sekadar forum berbagi keluhan, tetapi menjadi ruang
kontemplatif yang mengingatkan kita semua bahwa keamanan kampus bukan sesuatu
yang bisa diandaikan begitu saja. Ia tidak hadir secara otomatis. Keamanan
harus dibicarakan, disepakati, lalu diperjuangkan bersama secara
sadar, sistematis, dan manusiawi.
Petugas
keamanan kampus yang selama ini kerap dilihat sebagai pihak yang “mengawasi”
atau “membatasi”sejatinya adalah garda terdepan yang justru membutuhkan
dukungan kita. Mereka bukan musuh yang menghalangi kebebasan mahasiswa,
melainkan rekan seperjuangan dalam merawat ruang hidup akademik yang aman dan
bermartabat.
Sebaliknya,
mahasiswa tidak cukup hanya hadir sebagai pengguna fasilitas kampus. Lebih dari
itu, mereka adalah pemilik ruang yang punya tanggung jawab moral untuk turut
menjaga ketertiban, kenyamanan, dan keamanan bersama. Kampus bukanlah tempat
asing; ia adalah rumah bersama yang menuntut partisipasi kolektif dari seluruh
penghuninya.
Karena
itu, menjaga keamanan bukan semata urusan prosedural bukan
soal CCTV, gerbang, atau jadwal ronda. Menjaga keamanan adalah bentuk cinta
kepada lingkungan tempat kita tumbuh, belajar, dan bermimpi. Dan cinta, seperti
yang kita tahu, tidak mungkin tumbuh dalam suasana ketakutan atau
ketidakpedulian.
Sudah
waktunya kita menumbuhkan solidaritas, menumbuhkan rasa memiliki, dan
menempatkan keamanan sebagai komitmen bersama bukan instruksi dari atas, tapi
kesadaran dari dalam. Sebab jika kampus adalah rumah, maka menjaganya adalah
tindakan cinta yang paling nyata.
Referensi:
- Trojanowicz, R., &
Bucqueroux, B. (1990). Community Policing: A Contemporary Perspective.
Anderson Publishing.
- Newman, O. (1972). Defensible
Space: Crime Prevention Through Urban Design. Macmillan.
- Carmona, M., Heath, T., Oc, T.,
& Tiesdell, S. (2003). Public Places, Urban Spaces.
Architectural Press.
- Lee, S. M., & Trimi, S.
(2018). Smart Campus Security and Innovation. Journal of
Innovation & Knowledge, 3(1).
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Posting Komentar